Tiga bersaudara, Nyoman Budiarta, 30; Ketut Budiarsa, 28; dan Wayan Piadnya, 27, punya cara unik dalam melukis. Berbagai cara dilakoni untuk bisa melukis. Bahkan, mereka tak segan-segan menduduki kanvas untuk mendapatkan hasil maksimal.
THREE Brothers + 1, Nyoman Budiarta, 30; Ketut Budiarsa, 28; Wayan Piadnya, 27, dan Kadek Budiana, 25, terus berkarya. Meski nama mereka tak terdengar di kancah nasional. Pun begitu, itu bukan akhir perjuangan. Toh, yang namanya seniman, kepuasan batin yang dicari bukan sekadar materi.
"Memang ada kesulitan sekarang, karena material dan bahan-bahan makin mahal. Kalau dulu, kami sering diberi bantuan cat dan material lain oleh guru," kata Budiarsa.
Guru yang dimaksud adalah almarhum I Gusti Ayu Murniasih. Wanita asal Negara yang menikahi pria asing, itu meninggal akibat kanker mulut rahim 2005 silam, meski sempat mendapat penanganan medis tim dokter Singapura.
Menurut Budiarsa, perkenalan dengan Murniasih terjadi di tahun 2000. Kala itu, anak angkat Murniasih yang bernama Made Juli adalah teman sekolah di Sekolah Dasar Suta Darma, Ubud, Gianyar. "Kami dikenalkan ke ibunya, karena ibunya senang melukis juga," jelasnya.
Singkat kata, Murniasih pun tertarik melatih Three Brothers + 1. Sayangnya, ketika itu mereka belum terlalu sreg dengan aliran fantasi yang diusung Murniasih. "Ibu sempat memberikan hadiah lukisan pada kami. Setelah Ibu meninggal, kami baru tertarik dengan aliran fantasi, ke surealis," imbuhnya.
Surealisme atau aliran surealis, awalnya berkembang pada sastra. Dan, tahun 1024 dipakai oleh Andre Bizton untuk menyebutkan corak dalam seni lukis. Dengan usaha pembebasan diri dari kontrol kesadaran, menghendaki kebebasan yang bisa mengarah ke realis, tapi masih banyak dalam hubungan objek yang aneh.
Lukisan dalam ukuran kecil, yang menggambarkan (maaf) alat vital laki-laki yang dicengkeram tangan, berbalut warna merah. Usut punya usut, itu adalah pengalaman pribadi almarhum, terkait pelecehan seksual menimpa saat berusia kecil. "Kalau kita lihat, ini bukan pornografi. Ini ungkapan hati," sambung Piadnya yang memiliki tekstur tertawa khas.
Three Brothers + 1 pun dipengaruhi teknik melukis Dewa Nyoman Batuan dan Dewa Ketut Mokoh, perupa terkenal tradisional digabung kontenporer di wilayah Ubud, khususnya Pengosekan. Para pembimbing itu pun mempengaruhi anak-anak pasangan Ketut Nggong, 55, dan Made Kormi, 50, dalam mengguratkan kanvas.
Karya Budiarta, Nostalgia dalam goresan mixed media ke kanvas berukuran 60 cm x 50 cm yang digarap 2008 lalu adalah contohnya. Warna-warna cerah begitu terlihat. Dari wajah seorang anak laki-laki di sebelah kursi roda yang menjadi penggambaran, pelukis itu sendiri. Itu untuk mempertegas kenangan masa silam. Dari pemberitaan hingga alur hidup mereka yang sempat masuk program televisi swasta. Budiarta mempertegas, dengan tulisan dan kata-kata di alam pikirnya, berikut sebuah radio.
Pun begitu dalam Look At Me As Your. Bujang satu ini teringat apa yang didapat saat keci. Ada yang membantu, sisi lain mencemooh keadaan fisiknya.
Gambaran lebih gelap terlihat pada karya Budiarsa maupun Piadnya. Coklat dan abu-abu, lebih banyak dipilih. Piadnya, dalam Creaming In Th Silence layaknya ingin berteriak. Protes lewat sosok tubuh penuh luka, dengan kepala sepotongan kue terbelah. Dan kaki pun cacat. Distorsi pun terjadi. Merah layaknya api dalam lukisan bermedia arcylic dalam kanvas, 50 cm x 60 cm. Pun tergambar sosok putih arwah di dalam tubuh itu.
"Pemberontakan dengan jiwa lepas dari tubuhnya. Roh-roh keluar, seperti freedom of life," tandasnya.
Menariknya, kesedihan dan pemberontakan tak hanya tergambar di karya tiga bersaudara yang cacat. Budiana, pun terseret ke dalamnya. Ini terlihat pada karya berjudul Wounded In The Saly Water yang digarap tahun 2008. Lukisan dibuat di atas kanvas berukuran 180 cm x 200 cm acrylic. Terlihat sosok seorang buruk rupa, dengan beragam kerusakan fisik. Tapi, di dalam hatinya adalah sosok pekerja keras. Terwakilkan dengan pria pedagang tradisional Bali yang terus melangkah, meski air begitu tinggi. Sementara, di sisi lain banyak kodok dan tangan-tanggan yang terus menggerayangi dan "meneriaki" mereka.
"Ini menggambarkan tentang kehidupan sendiri dan menjalankan hidup yang terluka ditaburi air garam. Kita sudah begini, masih ada saja orang-orang yang mengejek. Kita akan berjuang lebih kuat," ucapnya.
Kok tidak ada tema cinta berikut problematikannya? Hanya Budiarsa yang pernah punya pacar. Itu dituangkan dalam Bukalah Pintumu Sekali Lagi. Kata dia, itu merupakan gambaran seorang wanita yang menjadi teman sekolah ketika SMP.
"Namanya cinta monyet, hanya berlangsung sebentar," jawabnya sedikit malu. "Kalau saya tidak pernah pacaran, jadi tidak pernah patah hati," sambung Piadnya.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana para pelukis dengan keterbatasan fisik ini menyelesaikan karyanya di atas kanvas yang besar-besar? Bagi yang cacat (Budiarta, Budiarsa, Piadnya), ini memang bukan hal yang gampang. Demikian, usaha dan kemauan keras yang membuat mereka mampu menyelesaikan karya itu semua. Caranya, dengan teknik kanvas dibaringkan ke lantai atau diposisikan miring di tembok. Jadi, pelukis akan mengelilingi karya itu. Bahkan, dalam posisi terbalik. Hemat Budiarta, itu tak masalah. "Sudah biasa, jadi lukisannya tetap sesuai pikiran kita," kata dia.
Beda dengan Piadnya. "Setelah dipaku (kanvas) diberikan cat dasar, setelah itu saya cabutin pakunya dari spiran. Terus (kanvas) saya taruh di lantai. Setelah itu saya naik dan melukis di kanvas itu," paparnya. Sembari mengatakan, untuk lukisan ukuran besar, biasanya selesai kisaran satu sampai dua minggu.
Sumber: CANDRA GUPTA, Ubud
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar